(oleh: Deni Yuniardi)
Ilham, putra Liwa yang kini siap berangkat ke Hejaz, di mana Kota suci Mekkah berada. Sejak kecil ia sudah mengaji dan belajar Silek Padang-pencak silat padang- kepada datuk Abdullah, guru ngaji anak-anak liwa dari tanah minang.
Musim kopi ditandai dengan mulai memerahnya buah kopi yang melekat di gugus-gugus buah di ranting-ranting kopi. Kopi itu di unduh lalu dikilang dengan kilangan kayu agar pecah dan terkelupas kulitnya, lalu dijemur selama beberapa hari. Setelah kering, kopi ditumbuk menggunakan lesung panjang, dipisahkan antara atah dan berasnya. Biji kopi siap dijual. Hasil panen selama bertahun-tahun dibelikan kebun sebagai tabungan. Kebun itulah kini dijual sesuai rencana untuk bekal keberangkatan Ilham menuju Mekah. Selembar surat pengantar dari datuk Abdullah ditujukan kepada sahabat minangnya di Mekah, menjadi bekal tambahan bagi Ilham.
Selepas maghrib, sanak saudara telah berkumpul di lamban dalom, rumah besar tempat acara adat di laksanakan. Malam itu, penduduk akan memanjatkan do’a untuk Ilham dan berziarah kepada para aruah yang telah mendahului mereka. Ilham malam itu melantunkan bacaan ayat suci Alqur’an yang barangkali akan lama tidak didengar lagi oleh para puaghi, sanak saudara.
Sabtu pagi, Ilham membawa tas besar berisi pakaian, ia mengenakan jubah dan sorban yang dibeli di Mekah saat kakek buyutnya dulu pergi haji. Ilham menaiki kuda meninggalkan tanah Liwa. Ilham menggerah kudanya menuju Kota Bumi, Rajabasa, dan terus menuju Teluk Betung. Di Teluk Betunglah Ilham naik Kapal Belanda Menuju Sailan, sebuah negara jajahan Belanda di selatan Hindustan. Di Sailan Ilham mendengar ada seorang ulama tasauf asal nusantara yang sangat mahsyur. Beliau adalah ulama bugis mahsyur sampai ke seluruh negeri India, yaitu Syekh Yusuf Ta’jul Khalwati. Ilham pun memutuskan untuk belajar terlebih dahulu kepada syekh Yusuf.
Untuk belajar kepada Syekh Yusuf, Ilham harus menjalani pemeriksaan oleh petugas keamanan Belanda. Ilham dicurigai sebagai utusan kerajaan yang ada di Nusantara. Namun kecurigaan belanda tidak terbukti dan Ilham pun diperbolehkan belajar kepada Syekh Yusuf. Syek Yusuf yang dulu sangat berpengaruh di nusantara baik di tanah Makassar, Bantam maupun Aceh itu, kini hanyalah tawanan Belanda yang berada di pengasingan. Walaupun Syekh Yusuf dapat mengajar di masjid tempat ia menghabiskan waktu, namun ia tidak bisa kemana-mana. Serdadu-serdadu Belanda selalu awas memperhatikan gerak-gerik Syekh dan murid-muridnya. Meskipun demikian, murid-murid syekh yusuf berdatangan dari berbagai wilayah, mulai dari pakistan, Hindustan, Muangthai, hingga dari Nusantara.
Syakh Yususf memang sangat dihormati. Kedalaman ilmunya telah membuat ia sangat berarti bagi ummat muslim di sekitar Hindustan. Ia sama sekali tidak mengajarkan murid-muridnya untuk memberontak dengan Belanda. Namun ilmu yang ia ajarkan mampu membuat murid-muridnya menyatukan dan menumbuhkan semangat rakyat yang sedang terjajah. Kaisar hindustan yang mulia Aurangzeb Alamgir pun menaruh kagum padanya. Sang kaisar pun meminta Belanda untuk memelihara Syekh yususf dengan cara sebaik-baiknya.
Ilham, dalam perjalanan yang mulai memakan waktu, mestinya sudah berada di Mekkah Al-Mukarromah. Tapi keinginan Ilham untuk tidak melewatkan kesempatan belajar kepada Syekh Yusuf membuat Ilham masih berada di Sailan. Salian, pulau Serendib di mana Adam Alaihi Salam diturunkan, menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap bersalah, namun juga menjadi tempat mengambil banyak pelajaran. Barangkali itulah histori yang melekat pada nama Serendib yang oleh orang-orang belanda dinamakan Ceylon.
Makin hari, makin banyaklah murid Syekh Yusuf. Banyak ulama-ulama pulau Sailan dan tanah hindus di utara juga pergi berguru kepada Syekh Yusuf. Hal itu membuat Ilham semakin enggan meninggalkan guru besarnya itu. “Allah telah memberikan aku guru yang luas Ilmunya, dan diriku masih belum menyelam kedalamnya, tentu aku belumlah boleh pergi mencari samudra yang lain” ucap Ilham kepada kawan Sailannya.
Kedatangan orang-orang pergi haji dan pulang haji, tak menggoda Ilham untuk buru-buru. Baginya, kalau Allah menghendaki, ia pastilah sampai pada tanah yang ia tuju dan pulang ke kampung halaman di mana orang-orang menunggu. Di carilah orang-orang pulang haji itu kalau-kalau ada dari Keresidenan Lampung "Lampoengsche Districten”, ia hendak berkirim surat untuk sanak saudaranya di kampung halaman. Di Pelabuhan Sailan, orang-orang hendak pulang haji, membeli oleh-oleh dari sisa-sisa uang yang mereka bawa. banyaklah bawaan mereka itu untuk menyenangkan kaum kerabat di kampung. Selain itu juga, perjalanan sekali seumur hidup itu tentu akan menimbulkan kerinduan di suatu hari nanti ketika badan mereka mulai ringkih dan tinggal menghabiskan waktu dengan cucu-cucu di rumah serta tak jauh dari Sejadah. Selendang-selendang Arab yang bagus dan lembut sengaja dibawa untuk kemenakan dan cucu-cucu gadis, mereka akan berkerudung selendang itu dengan senang dan bangga. sementara untuk orang-orang tua, mereka dibawakan tasbih untuk berdzikir dan kemana-mana mereka akan membawa tasbih itu, dan tentulah karena membawa tasbih dari kota suci itu, mereka akan berdzikir kemana saja berpergian. Sisanya, untuk orang-orang tertentu dibelikan jubah dan sorban. Jubah dan sorban itu akan menjadi kebanggaan dan penambah kerinduan dengan Rasulullah dan tanah suci. Kepada Anak cucunya orang-orang pulang haji itu akan sering berkisah, dan juga memperlihatkan bagaimana pakaian orang-orang di tanah suci.
Ilham mencari orang yang dari Keresidenan lampung. Ia bertanya kepada orang pegawai Belanda dan didapatkannya Alak Khaidir. Alak Khaidir adalah orang Semaka yang pergi haji. Perjalanan satu hari dari tanah Liwa.
“Assalamaualaikum, benar tuan dari lampung”.
“Waalaikum Salam, ya saya dari lampung, apa yang bisa saya bantu untuk tuan”.
Ilham menjabat tangan Alak Khaidir, mencium tangannya, lalu mereka berpelukan. Kerinduan dengan kampung halaman dan keluarga membuat air mata ilham berjatuhan. Alak Khidir dapat menangkap, bahwa ilham adalah orang sekampung halaman dengannya, dari tanah lampung. Perawakannya yang mirip orang Cina dan air mukanya menunjukkan bahwa ia orang lampung.
“Sapa gelaghmu nak? Dipa pekonmu?”
“Gelakhku Ilham, lak. Jak Liwa. Sapa nyak ngughau Alak?” Ilham mengusap air matanya dengan sorban yang ia selendangkan.
“Nyak Khaidir, jak Semaka. ughau gawoh alak Khaidir. Ngapi bang niku di dija nak?” Alak Khaidir mencoba menyedlidik, ia khawatir Ilham dibawa oleh Belanda ke Sailan.
“Nyak diutus pengighan, jama minak muaghi ngaji mik kota Suci. Nyak muridnya datuk Abdullah Minang. Di dija nyak belajgh jama Syekh Yusuf, semekung mik kota Suci. Kekalau tahun hadap nyak laju mik disan.”
“Alhamdulillah, Wala haula Wala Quwwata Illa billah” Alak Khaidir Menangis. Air matanya berderai berjatuhan. tersentuh hatinya dan bahagia teramat dapat mendengar langsung putra lampung belajar jauh mencari ilmu agama.
“alak, nyak titip surat nji, kilu dismpaiko mik lamban. Inji pakai mbayagh jelma jak lamban alak mik liwa”. Ilham memberikan uang untuk ongkos pos.
“Ikin gawoh, kanah kuusung sughatmu, kanah nyak manjau mik Liwa. Sapa gelagh Bakmu?” Alak Khaidir menolak uang dari Ilham.
“Gelagh Bak Mat Din, gelagh datuk, Mat Saleh, lak”.
“Iyu, kanah kik nyak gahdu sampai mik lamban, telu pak ghani seghaduni, nyak mik liwa. Sekalian silaturahim jama manjau. Gham nji lagi muaghi nak, asal usul sekam jama datukmu gegoh”.
“Nghima nihan lak, mudah-mudahan niku sampai tujuan”
“Iyu nak, nyak ngedu’ako niku, ana kapal ghadu siap-siap, sekam haga mik”. Alak berpamitan, kapal mulai bersiap-siap akan berangkat. Ilham dan Alak Khaidir saling berpelukan. Di tepi laut India yang amat luas, dan anginnya kuat bertiup membuat sorban kedua orang itu melambai-lambai, seakan turut merindukan kampung halaman yang nun jauh di sana. Alak Khaidir berjalan menuju kapal yang bergoyang-goyang di diterpa gelombang laut.
Ilham, putra Liwa yang kini siap berangkat ke Hejaz, di mana Kota suci Mekkah berada. Sejak kecil ia sudah mengaji dan belajar Silek Padang-pencak silat padang- kepada datuk Abdullah, guru ngaji anak-anak liwa dari tanah minang.
Musim kopi ditandai dengan mulai memerahnya buah kopi yang melekat di gugus-gugus buah di ranting-ranting kopi. Kopi itu di unduh lalu dikilang dengan kilangan kayu agar pecah dan terkelupas kulitnya, lalu dijemur selama beberapa hari. Setelah kering, kopi ditumbuk menggunakan lesung panjang, dipisahkan antara atah dan berasnya. Biji kopi siap dijual. Hasil panen selama bertahun-tahun dibelikan kebun sebagai tabungan. Kebun itulah kini dijual sesuai rencana untuk bekal keberangkatan Ilham menuju Mekah. Selembar surat pengantar dari datuk Abdullah ditujukan kepada sahabat minangnya di Mekah, menjadi bekal tambahan bagi Ilham.
Selepas maghrib, sanak saudara telah berkumpul di lamban dalom, rumah besar tempat acara adat di laksanakan. Malam itu, penduduk akan memanjatkan do’a untuk Ilham dan berziarah kepada para aruah yang telah mendahului mereka. Ilham malam itu melantunkan bacaan ayat suci Alqur’an yang barangkali akan lama tidak didengar lagi oleh para puaghi, sanak saudara.
Sabtu pagi, Ilham membawa tas besar berisi pakaian, ia mengenakan jubah dan sorban yang dibeli di Mekah saat kakek buyutnya dulu pergi haji. Ilham menaiki kuda meninggalkan tanah Liwa. Ilham menggerah kudanya menuju Kota Bumi, Rajabasa, dan terus menuju Teluk Betung. Di Teluk Betunglah Ilham naik Kapal Belanda Menuju Sailan, sebuah negara jajahan Belanda di selatan Hindustan. Di Sailan Ilham mendengar ada seorang ulama tasauf asal nusantara yang sangat mahsyur. Beliau adalah ulama bugis mahsyur sampai ke seluruh negeri India, yaitu Syekh Yusuf Ta’jul Khalwati. Ilham pun memutuskan untuk belajar terlebih dahulu kepada syekh Yusuf.
Untuk belajar kepada Syekh Yusuf, Ilham harus menjalani pemeriksaan oleh petugas keamanan Belanda. Ilham dicurigai sebagai utusan kerajaan yang ada di Nusantara. Namun kecurigaan belanda tidak terbukti dan Ilham pun diperbolehkan belajar kepada Syekh Yusuf. Syek Yusuf yang dulu sangat berpengaruh di nusantara baik di tanah Makassar, Bantam maupun Aceh itu, kini hanyalah tawanan Belanda yang berada di pengasingan. Walaupun Syekh Yusuf dapat mengajar di masjid tempat ia menghabiskan waktu, namun ia tidak bisa kemana-mana. Serdadu-serdadu Belanda selalu awas memperhatikan gerak-gerik Syekh dan murid-muridnya. Meskipun demikian, murid-murid syekh yusuf berdatangan dari berbagai wilayah, mulai dari pakistan, Hindustan, Muangthai, hingga dari Nusantara.
Syakh Yususf memang sangat dihormati. Kedalaman ilmunya telah membuat ia sangat berarti bagi ummat muslim di sekitar Hindustan. Ia sama sekali tidak mengajarkan murid-muridnya untuk memberontak dengan Belanda. Namun ilmu yang ia ajarkan mampu membuat murid-muridnya menyatukan dan menumbuhkan semangat rakyat yang sedang terjajah. Kaisar hindustan yang mulia Aurangzeb Alamgir pun menaruh kagum padanya. Sang kaisar pun meminta Belanda untuk memelihara Syekh yususf dengan cara sebaik-baiknya.
Ilham, dalam perjalanan yang mulai memakan waktu, mestinya sudah berada di Mekkah Al-Mukarromah. Tapi keinginan Ilham untuk tidak melewatkan kesempatan belajar kepada Syekh Yusuf membuat Ilham masih berada di Sailan. Salian, pulau Serendib di mana Adam Alaihi Salam diturunkan, menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap bersalah, namun juga menjadi tempat mengambil banyak pelajaran. Barangkali itulah histori yang melekat pada nama Serendib yang oleh orang-orang belanda dinamakan Ceylon.
Makin hari, makin banyaklah murid Syekh Yusuf. Banyak ulama-ulama pulau Sailan dan tanah hindus di utara juga pergi berguru kepada Syekh Yusuf. Hal itu membuat Ilham semakin enggan meninggalkan guru besarnya itu. “Allah telah memberikan aku guru yang luas Ilmunya, dan diriku masih belum menyelam kedalamnya, tentu aku belumlah boleh pergi mencari samudra yang lain” ucap Ilham kepada kawan Sailannya.
Kedatangan orang-orang pergi haji dan pulang haji, tak menggoda Ilham untuk buru-buru. Baginya, kalau Allah menghendaki, ia pastilah sampai pada tanah yang ia tuju dan pulang ke kampung halaman di mana orang-orang menunggu. Di carilah orang-orang pulang haji itu kalau-kalau ada dari Keresidenan Lampung "Lampoengsche Districten”, ia hendak berkirim surat untuk sanak saudaranya di kampung halaman. Di Pelabuhan Sailan, orang-orang hendak pulang haji, membeli oleh-oleh dari sisa-sisa uang yang mereka bawa. banyaklah bawaan mereka itu untuk menyenangkan kaum kerabat di kampung. Selain itu juga, perjalanan sekali seumur hidup itu tentu akan menimbulkan kerinduan di suatu hari nanti ketika badan mereka mulai ringkih dan tinggal menghabiskan waktu dengan cucu-cucu di rumah serta tak jauh dari Sejadah. Selendang-selendang Arab yang bagus dan lembut sengaja dibawa untuk kemenakan dan cucu-cucu gadis, mereka akan berkerudung selendang itu dengan senang dan bangga. sementara untuk orang-orang tua, mereka dibawakan tasbih untuk berdzikir dan kemana-mana mereka akan membawa tasbih itu, dan tentulah karena membawa tasbih dari kota suci itu, mereka akan berdzikir kemana saja berpergian. Sisanya, untuk orang-orang tertentu dibelikan jubah dan sorban. Jubah dan sorban itu akan menjadi kebanggaan dan penambah kerinduan dengan Rasulullah dan tanah suci. Kepada Anak cucunya orang-orang pulang haji itu akan sering berkisah, dan juga memperlihatkan bagaimana pakaian orang-orang di tanah suci.
Ilham mencari orang yang dari Keresidenan lampung. Ia bertanya kepada orang pegawai Belanda dan didapatkannya Alak Khaidir. Alak Khaidir adalah orang Semaka yang pergi haji. Perjalanan satu hari dari tanah Liwa.
“Assalamaualaikum, benar tuan dari lampung”.
“Waalaikum Salam, ya saya dari lampung, apa yang bisa saya bantu untuk tuan”.
Ilham menjabat tangan Alak Khaidir, mencium tangannya, lalu mereka berpelukan. Kerinduan dengan kampung halaman dan keluarga membuat air mata ilham berjatuhan. Alak Khidir dapat menangkap, bahwa ilham adalah orang sekampung halaman dengannya, dari tanah lampung. Perawakannya yang mirip orang Cina dan air mukanya menunjukkan bahwa ia orang lampung.
“Sapa gelaghmu nak? Dipa pekonmu?”
“Gelakhku Ilham, lak. Jak Liwa. Sapa nyak ngughau Alak?” Ilham mengusap air matanya dengan sorban yang ia selendangkan.
“Nyak Khaidir, jak Semaka. ughau gawoh alak Khaidir. Ngapi bang niku di dija nak?” Alak Khaidir mencoba menyedlidik, ia khawatir Ilham dibawa oleh Belanda ke Sailan.
“Nyak diutus pengighan, jama minak muaghi ngaji mik kota Suci. Nyak muridnya datuk Abdullah Minang. Di dija nyak belajgh jama Syekh Yusuf, semekung mik kota Suci. Kekalau tahun hadap nyak laju mik disan.”
“Alhamdulillah, Wala haula Wala Quwwata Illa billah” Alak Khaidir Menangis. Air matanya berderai berjatuhan. tersentuh hatinya dan bahagia teramat dapat mendengar langsung putra lampung belajar jauh mencari ilmu agama.
“alak, nyak titip surat nji, kilu dismpaiko mik lamban. Inji pakai mbayagh jelma jak lamban alak mik liwa”. Ilham memberikan uang untuk ongkos pos.
“Ikin gawoh, kanah kuusung sughatmu, kanah nyak manjau mik Liwa. Sapa gelagh Bakmu?” Alak Khaidir menolak uang dari Ilham.
“Gelagh Bak Mat Din, gelagh datuk, Mat Saleh, lak”.
“Iyu, kanah kik nyak gahdu sampai mik lamban, telu pak ghani seghaduni, nyak mik liwa. Sekalian silaturahim jama manjau. Gham nji lagi muaghi nak, asal usul sekam jama datukmu gegoh”.
“Nghima nihan lak, mudah-mudahan niku sampai tujuan”
“Iyu nak, nyak ngedu’ako niku, ana kapal ghadu siap-siap, sekam haga mik”. Alak berpamitan, kapal mulai bersiap-siap akan berangkat. Ilham dan Alak Khaidir saling berpelukan. Di tepi laut India yang amat luas, dan anginnya kuat bertiup membuat sorban kedua orang itu melambai-lambai, seakan turut merindukan kampung halaman yang nun jauh di sana. Alak Khaidir berjalan menuju kapal yang bergoyang-goyang di diterpa gelombang laut.
Komentar
Posting Komentar