Langsung ke konten utama

Asal Usul Masyarakat Semende Way Tenung dan Pernikahan Raja Skala Brak ke-18

Desa Mutaralam,  Kecamatan Way Tenong,  Lampung Barat adalah dusun tua yang sudah tercatat dalam peta sejak zaman penjajahan konial Belanda. Dusun tua tersebut bersama dengan Liwa,  tercantum dalam Peta Keresidenan Lampung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.  Namun siapa sangka bahwa dusun tua yang sudah ada sejak belum beridirinya Republik Indonesia tersebut bukanlah pemukiman etnis Lampung,  melainkan pedusunan masyarakat Semende. 

Masyarakat Semende adalah bagian dari  kelompok masyarakat adat di wilayah Sumatra Bagian Selatan,  di samping masyarakat Semende terdapat juga kelompok masyarakat ogan,  Meranjat,  Pesemah,  Rejang,  Komering,  Palembang,  Bengkulu,  Lampung,  dan beberapa kelompok masyarakat adat lainnya. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut menyebar di berbagai penjuru di wilayah Sumatra Bagian Selatan,  Mulai dari Jambi,  Sum-Sel,  Bengkulu,  hingga Lampung. Demikian pula dengan masyarakat Semende,  mereka tersebar di berbagai penjuru Sumbagsel. Pada masa itu,  belum ada provinsi yang seperti kita kenal saat ini, Tiga provinsi di atas masih menjadi satu yaitu Sumatra Bagian Selatan.

Dusun Mutaralam merupakan salah satu tempat persebaran masyarakat adat Semende pada masa pra kemerdekaan RI.  Masyarakat Semende berpusat di dusun Semende,  Muara Enim,  Sumsel.  Namun,  penduduk Mataralam bukanlah masyarakat Semende yang berasal dari Sumsel, melainkan berasal dari Ulu Nasal,  Bengkulu.

Masyarakat Semende Mutaralam adalah anak-cucu puyang Raje Mangkute yang berasal dari Ulu Nasal.  Menurut cerita rakyat setempat,  Puyang Raje Mangkute memerintahkan beberapa anaknya untuk membuka tanah baru.  Berangkatlah anak-anak Raje Mangkute mencari tanah baru tersebut dari Bengkulu melewati sekitar Danau Ranau,  melalui kerajaan Skala Brak,  lalu menetap di Kasui selama dua tahun.  Namun kemudian berpindah ke tempat lain yang kemudian dinamakan Mutar Alam.  Di sinilah sebagian anak-cucu puyang Raje Mangkute menetap selain di Ulu Nasal. 

Masyarakat Semende pun berekembang dan Mutaralam Menjadi Pedusunan yang cukup maju di wilayah Lampung Barat,  perekonomian ditopang oleh pertanian dengan lahan yang sangat subur,  pendidikan dilaksanakan dengan ketat di surau-surau,  Seni Melayu yang kental dengan keislaman degalakkan,  mulai dari Gambus,  Rebbana,  Tilawatil Qur'an,  hingga Tarian.  Sementara pemuda-pemudanya diwajibkan menguasai bela diri Kuntau,  sebagai bagian dari ketahanan kelompok msyarakat tersebut.

Beberapa orang dari keturunan  Puyang Raje Mangkute yang berkembang di Muataralam tersebut kemudian diperintahkan membuka tanah baru di wilayah yang sekarang menjadi kabupaten Tanggamus.  Tanah baru tersebut adalah Ulu Belu.  Maka secara otomatis terbentukalah poros Ulu Nasal-Mutaralam-Ulu Belu.

Mutaralam yang sudah menjadi pedusunan besar,  kemudian tersiarlah kabarnya di telinga masyarakat Semende di wilayah-wilayah lain,  termasuk di dusun Semende Darat,  Sumatra Selatan.  Maka mulai berbondong-bondonglah masyarakat Semende dari Ulu Nasal dan dari Semende Darat menuju Muataralam.  Dari ulu nasal melalui Danau Ranau,  sementara dari Semende Darat Melalui Lampung Utara dan Way Kanan. Bertemulah masyarakat Semende dari Semende Darat dan dari Ulu Nasal di dusun Mutaralam.  Namun dari Semende Darat berdatangan lebih pesat dan lebib banyak jumlahnya seiring dengan waktu,  sehingga semakin banyaklah populasi masyarakat Semende di wilayah tersebut.  Masyarakat Semende dari Semende Darat disebut sebagai Semende Darat,  sementara masyarakat Semende dari Ulu Nasal yang pertama kali datang disebut Semende Penduduk.

Besarnya pedusunanan menciptakan dusun-dusun baru,  di antaranya adalah Tenung dan Pajar Bulan. Semakin majulah perdaban,  keislaman,  dan kesenian masyarakat semende di daerah itu.  Meskipun telah menjadi beberapa dusun,  pusat kesemendean di derah itu tetap di Muataralam,  yaitu di masjid pedusunan.  Di masjid itulah pemuda-pemudi mangaji,  hari-hari besar islam diperingati,  acara-acada adat dilaksanakan.

Di Skala Brak,  bertahta seorang Raja Lampung ke-18 bernama Pangeran Polon. Hutan Rimba yang telah menjadi pedusunan Besar masyarakat Semende menurut masyarakat Lampung masuk dalam wilayah Skala Brak. Pada saat itu  pangeran polon belum mendapatkan putra untuk meneruskan tahtanya.  Maka pangeran Polon pun menikahi perempuan Semende dari Muataralam,  dan menjadikannya sebagai istri kedelapan.  Namun,  dalam budaya Lampung,  istri kedelapan pun dapat dijadikan permaisuri,  maka orang Semende pun telah menjadi keluarga bagi kerajaan Skala Brak. Anak cucu pangeran polon tersebut dapat dijumpai hingga saat ini dan menjadi bangsawan di kalangan masyarakat Skala Brak.

Dengan sebuah perjanjian,  Kerajaan skala brak pun mengangkat Mutaralam sebagai adik dari Dusun Kenali yang menjadi bagian dari Skala Brak.

Penulis: Deni Yuniardi

Sumber:
Hasil wawancara penulis dengan Tokoh Lampung Skala Brak
Hasik wawancara penulis dengan tokoh Semende Lampung Barat
Hasi Wawancara dengan Tokoh semende Ulu Belu

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KKN-KT FKIP UNILA TIGA BULAN, NGAPAIN AJA YA?

KKN (Kuliah Kerja Nyata) mengandung sejuta kejutan bagi mahasiswa. Apalagi bagi mahasiswa FKIP unila yang KKN-nya diintegrasikan dengan PPK (Praktik Profesi Kependidikan) selama tiga bulan. Membangun tim, masuk ke lingkungan baru, melakukan interaksi dengan masyarakat, dan mengajar di sekolah selama tiga bulan, akan menjadi pengalaman paling berharga selama kuliah yang tidak akan pernah terlupakan. .............................................................................................................................................................. Tulisan ini berawal dari sebuah pertanyaan adik tingkat tentang KKN. "Kak ada buku semacam diktat KKN gak, yang berisi selama KKN itu kita harus ngapain aja?" seketika itu, saya langsung terpikir barangkali pertanyaan ini juga yang ada di benak adik-adik yang lainnya. "Oke gini aja, biar yang lain juga tau, kakak tulis dan kakak share di medsos nanti malem"..... .....................................

Andai-Andai, Dongeng dalam Budaya Semende

Setiap kelompok masyarakat di Nusantara memiliki kekhasannya tersendiri, di antaranya adalah media pendidikan sekaligus hiburan yang biasa kita sebut sastra lisan dongeng. Di Sumatra Bagian Selatan terdapat kelompok masyarakat adat yang bernama suku Semende, yaitu suku Melayu Muda yang terbentuk paska kedatangan Islam di Sumatra. Masyarakat Semende sangat kental dengan budaya melayu dan budaya keislaman, dongeng dijadikan sebagai media hiburan sekaligus pendidikan untuk anak-anak di rumah-rumah warga. Dongeng oleh orang Semende disebut "andai-andai", diambil dari bahasa Melayu yaitu pengandaian-pebgabdaian. Andai-andai biasanya berisi cerita yang tidak masuk akal, sehingga memicu kecerdasan anak untuk berintuisi membayangkan serunya jalan cerita. Namun di akhir cerita dalam andai-andai selalu terdapat pesan dan pelajaran kehidupan. Misalnya andai-andai "Ndung Kebau Bapang Kebau", yang bercerita tentang delapan orang anak yang kedua orang tuanya berubah menjadi ke